Minggu, 18 Juli 2010

Wahyudi: Mengingkari “Kuburan” Solo
(sekadar catatan personal untuk Tri Wahyudi yang berpameran tunggal, 17-27 Juli 2010)

Penulis: Kuss Indarto

[bagian satu]

NAMA dan karya Tri Wahyudi pertama kali saya kenali pada perhelatan pameran seni rupa Festival Kesenian Yogyakarta (FKY) 2007. Namanya menjadi salah satu dari sekitar 35 nama seniman yang lolos seleksi pameran tahunan tersebut. Waktu itu, saya sebagai kurator dan perupa Arie Diyanto sebagai co-curator menerima sekitar 600 lebih proposal dari para seniman muda yang berkehendak terlibat dalam pameran. Ada beberapa aturan main yang ingin saya (sebagai Ketua Divisi Seni Rupa) terapkan dalam pameran FKY tahun itu. Antara lain, perhelatan hanya terbuka bagi para seniman di bawah usia 35 tahun, dan tidak menutup kemungkinan bagi para seniman Yogyakarta dan dari luar Yogyakarta untuk berpartisipasi

Poin terakhir itu tampaknya begitu menyedot perhatian bagi Wahyudi hingga dia begitu antusias mengikutkan salah satu karyanya dalam pameran yang kala itu bertajuk kuratorial “Shout Out! Berteriaklah!” Dan menarik pula untuk diingat karena dari 35 nama seniman peserta/karya itu, hanya ada 3 karya lukisan, yakni karya Robi Fathoni, Aji Yudalaga, dan Tri Wahyudi. Saya katakan menarik karena sebagai kurator, saya mencoba bersikukuh untuk mencari sebanyak mungkin “kebaruan dan penyegaran” dalam artefak ekspresi karya para seniman muda. Dan salah satu bentuk “kebaruan dan penyegaran” itu dengan “mengutamakan” karakter karya beserta pilihan-pilihan medium juga tema yang beragam dan sebisa mungkin lepas dari gejala arus besar. Tak mudah memang. Kala itu sebagian besar seniman menggunakan medium yang relatif “baru” (meski jelas tak baru-baru amat) seperti video art, object arts, sneakers art, dan tidak sedikit seni instalasi. Bahkan ada yang mengusung “sawah mini” dalam gedung. Ada karya Indieguerillas, Uji Hahan Handoko, Iwan Effendi, Comic Bomber, Trio Samsul Arifin, David Armi Putra dan Bayu Yuliansyah yang tengah berkolaborasi, Ngurah Udiantara “Tantin”, Dona Prawita, dan masih banyak lagi.

Dan di antara kerumunan karya-karya seperti itulah ada tiga lukisan, salah satunya karya Tri Wahyudi. Lukisan itu semi-komikal. Belum cukup istimewa secara visual, namun seperti menyimpan hal yang cukup berbeda ketimbang kebanyakan karya lain yang serupa. Warna-warnanya pun cukup bersahaja: merah hati dan hijau tua yang sepertinya “diambil begitu saja” dari tube tanpa banyak dibaurkan dengan warna lain. Subyek utamanya figur-figur yang seolah beterbangan dalam satu ruang dengan pemiuhan (deformasi) fisik yang mulai fasih: seenaknya, menyelaraskan dengan alur imajinasi dalam benak. Belum ada “manis-manisnya”, dan justru di situlah sepertinya kebebasan visual itu bergerak dalam karya Wahyudi. Itulah kekuatan karyanya.

Berikutnya, setahun kemudian, karya Tri Wahyudi saya kenali kembali setelah lolos 50 Besar Mon Décor Painting Festival 2008. Sebenarnya malah lolos dalam 25 Besar yang relatif lebih ketat karena 25 karya yang lain merupakan karya dari seniman undangan yang berpartisipasi tanpa seleksi. Sementara karya Wahyudi harus bertarung dengan sekitar 700 karya lain yang datang dari banyak kota di Indonesia. Kebetulan saya salah satu dari tim juri di samping kurator Jim Supangkat, Dr. M. Agus Burhan dan seniman senior, Ivan Sagita. Artinya, pengakuan awal atas masuknya karya Wahyudi dalam perhelatan itu telah ditunjang oleh legitimasi kuat dari tim juri. Meski tak bisa dibilang dengan kemutlakan, namun keberadaan karya Wahyudi dalam event itu dimungkinkan memberi implikasi yang baik bagi perjalanan kreatifnya yang bergerak dari Solo, kota “pinggiran” dalam seni rupa di Indonesia. Wahyudi pasti sadar dengan posisi tersebut.

[bagian dua]

WALAUPUN berjarak hanya sekitar 64 kilometer, dapat ditempuh dalam waktu 45 menit dengan kereta api Pramex, namun perkembangan seni rupa di kota Solo (= Surakarta) kurang seprogresif tetangganya, Yogyakarta. Bahkan kalah riuh dibanding kota Semarang. Sama-sama memiliki sejarah kebudayaan yang panjang dan tinggi, sama-sama dianggap menjadi sumbu dan simbol kebudayaan Jawa, namun pada perkembangannya Yogyakarta-Surakarta masing-masing memiliki kelebihan yang berbeda. Mereka menemukan pilihan masing-masing yang tak seutuhnya sama dan setara. Tri Wahyudi, anak muda kelahiran Surakarta, 11 November 1986 ini pun mengakui. Dalam jagad seni tari, Kota Bengawan ini jelas dianggap telah melahirkan sekian banyak empu. Sementara di ranah seni rupa, Solo tertinggal sangat jauh ketimbang Yogyakarta yang melaju pesat.

Kalau kemudian ditelusuri, memang, ada problem titik berangkat historis yang timpang jauh satu sama lain. Yogyakarta memiliki ASRI (Akademi Seni Rupa Indonesia) yang lahir kurang dari lima (5) tahun setelah usia republik ini setelah terbit surat Keputusan Menteri PP dan K no. 32/Kebud., tanggal 15 Desember 1949, dan diresmikan 15 Januari 1950. Sementara Solo baru memiliki kampus seni, yakni Akademi Seni Karawitan Indonesia (ASKI), setelah terbit Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 068/1964 tertanggal 15 Juli 1964. Dan Jurusan yang berkait dengan seni rupa baru dibuka bertahun-tahun kemudian.

Berdirinya sebuah kampus seni sudah barang pasti pantas dicatat karena kemudian banyak sekali pergeseran, perubahan dan geliat dinamika seni juga tak sedikit ditentukan dari sana. Mungkin bukan sepenuhnya karena tata aturan, sistem birokrasi dan kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan belum tentu semuanya mampu menjadi roda perubahan itu. Melainkan lebih karena kampus berangsur-angsur menjadi ruang sentrum bagi berkumpulnya banyak gagasan dan meluapnya pengharapan yang kemudian lahir dari banyak orang muda (atau yang tetap merawat kemudaan) untuk berpikir terus melestarikan kemajuan. (Kampus, pasti, hanya satu gelintir soal dilaur hal lain yang juga sangat berpengaruh seperti suprastruktur dan infrastruktur pendinamisasi seni rupa).

Dalam segala kelebihan dan kekurangannya, Wahyudi mengaku merasa beruntung bisa masuk di Program Seni Lukis, Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta tahun 2004. Sebelumnya, selama kurang lebih setahun aktif di Sanggar Kalpika, Yogyakarta. Dia merasa, inilah saatnya berbuat yang lebih baik untuk mengembangkan diri dan kariernya. Dalam kampus dia banyak bertemu dengan para dosen, terutama yang senior, yang kelak dirasakannya telah banyak memberi pembekalan penting bagi perjalanan kreatifnya. Dengan I Gusti Ngurah Nurata, Wahyudi banyak member tumpuan proses pembelajarannnya pada masalah-masalah teknis melukis. Dan bersama Bonyong Munni Ardhie, dia merasa menemukan titik hubung proses pewacanaan dalam dunia seni rupa yang ditemuinya antara praktek di lapangan dan dari dalam diktat-diktat kuliah. Kedua dosen ini—yang kebetulan sama-sama alumni ASRI Yogyakarta—memang seperti menjadi “legenda” bagi para mahasiswa seni rupa di ISI Surakarta. Para dosen lain, termasuk yang muda, tentu saja juga memberi peran yang cukup besar pula bagi proses pembentukan pola berpikirnya. Ada sosok seperti Sofwan “Kipli” Zarkasi yang disebutnya cukup memberi pandangan yang berbeda dalam menatap kerja kreatif sebagai seniman.

Di luar itu, seperti halnya kebanyakan mahasiswa lain, Wahyudi mencoba aktif di banyak aktivitas. Pada kurun awal dia melihat setidaknya dua komunitas seni rupa yang paling aktif dan cukup berpengaruh di kota Solo, yakni Kelompok Bim Salabim (ISI Surakarta) yang dikomandoi oleh teman seangkatannya, Pithut Saputra, dan Kelompok Banting Stir (Seni Rupa UNS, Universitas Negeri Solo). Wahyudi sesekali mengikuti aktivitas yang dibuat 2 kelompok tersebut meski tidak sangat intens. Mereka banyak bergerak untuk membuat aktivitas seni di “jalanan” seperti membuat mural di sebuah kawasan, pameran seni dengan material pameran yang tidak konvensional, dan semacamnya.

Karena bukan pendiri dan tak menjadi “anggota tetap” dalam komunitas itu, maka Wahyudi pun dengan bebas bisa bergerak seperti yang dimauinya untuk masuk dan keluar mengikuti minat dan intuisinya. Merasa telah cukup “menyimak” komunitas itu, dia bersama 25 kawan seangkatan dan sejurusannya membuat kelompok Ranting Seruni. Sayang kelompok ini tak cukup kuat kuat disokong oleh pemikiran-pemikiran kreatif yang mendasarinya sehingga kegiatan dan pencapaiannya pun tidak banyak bergaung dalam ruang-ruang pendengaran masyarakat seni yang lebih luas. Juga, sayangnya, tak cukup awet bertahan. Maka, tak lama kemudian hanya tinggallah nama Ranting Seruni itu. Kelompok yang kemudian sempat “dihinggapi” Wahyudi adalah Kelompok Pintu Mati yang diprakarsai oleh Ning Yuliastuti, salah satu dosen yang kebetulan istri dosen dan perupa Bonyong Munnie Ardhi.

[bagian tiga]

PADA tahun-tahun terakhir di masa studi di ISI Surakarta Wahyudi seperti telah menemukan banyak kemungkinan jalan yang bisa dilewati untuk membangun karir dan reputasinya sebagai seniman. Kesadaran bahwa tak akan mungkin banyak berkembang andai hanya mengandalkan jaringan di dalam kota Solo menebalkan spiritnya untuk merangsek mencari celah jejaring kerja kreatif dan sosial yang lebih luas. Mungkin ini bisa dianggap terlalu berlebihan karena sebenarnya Wahyudi tak memiliki komunitas atau kelompok seni yang kuat yang ada di belakang punggungnya. Dia murni bergerak sendiri secara personal sebagai seniman yang memang ingin banyak menimba sistem pengetahuan yang lebih baru dan segar bagi pengayaan kreatifnya sebagai kreator dan sebagai mahasiswa yang ingin berkembang jauh.

Karena tanpa beban menyangga sebuah komunitas inilah maka memuat dua kemungkinan yang bisa datang secara beriringan dan saling berseberangan. Pertama, tak ada target yang cukup jelas untuk membangun jejaring kerja lebih tegas dan berimplikasi pada komunitas yang dibawanya. Dengan demikian, yang terjadi adalah anjangsana personal dengan target personal pula. Pola seperti ini tak jarang menyulitkan bagi partner jejaring yang lain untuk membuat sebuat art project yang lebih serius dan dalam skala yang lebih besar. Kedua, persentuhan dengan jaringan seni dari kota lain seperti diposisikan sebagai “kotak charger baterray” yang diharapkan bisa meng-charge kemampaunnya sebagai seniman, namun bukan sebagai bagian penting dari system jaringan kerja yang tentu membutuhkan energy besar yang dimungkinkan akan menyedot energi kreatif Wahyudi yang lain untuk bekerja sebagai seniman (= pelukis). Pola ini yang tampaknya masih dianut oleh Wahyudi.

Maka, enjoy-lah dia sesekali ke Yogyakarta untuk mengunjungi dan mengobrol dengan beberapa seniman muda yang seumuran atau komunitas seni yang diakrabinya untuk menimba informasi yang lebih baru. Juga ke komunitas seni dan seniman-seniman tertentu di Semarang. Dari sanalah kemudian muncul ide-ide untuk berpameran bersama di ruang-ruang alternatif yang masih membebaskan proses dan target pameran itu dari perangkap pasar, misalnya. Ini sangat penting bagi pertumbuhan seniman muda semacam Wahyudi yang butuh “ruang antara” untuk bergerak di antara dunia yang pragmatis dan dunia yang penuh idealisme dalam seni.

Pameran tunggalnya kali ini kiranya merupakan buah dari ketekunan seorang Wahyudi yang menggali keteguhan dan keyakinannya terhadap pilihan profesi dan hidupnya untuk menekuni dunia seni rupa. Sebelumnya, dalam studi formal di ISI Surakarta, dia juga tekun menempuh jalur-jalur yang semestinya dijalani hingga sempat menerima beasiswa atau PPA (Peningkatan Prestasi Akademik) mulai semester ke-3 sampai beberapa semester berikutnya. Ini pencapaian tersendiri bagi anak pasangan Daryo-Sulastri ini. Apalagi setelah menginjak semester ke-5 Wahyudi betul-betul telah mandiri dari beban ketergantungan subsidi finansial keluarganya. Karya-karyanya telah “berbuah”, diapresiasi dan direspons dengan baik oleh publik. Dari sinilah publik akan bisa menyimak lebih seksama: Apakah kota Solo memang “selamanya” tidak mampu melahirkan perupa yang matang, ataukah Wahyudi tengah datang dengan membawa kekecualian? Jalan masih sangat panjang. Dan Wahyudi—dan sekian banyak perupa (muda) lainnya—pantas untuk mengingkari anggapan bahwa Solo sebagai “kuburan bagi perupa” dengan membopong secuil harapan. Semoga!***

Selasa, 13 Juli 2010

10 KEPRIBADIAN ORANG KREATIF

Menurut Mihaly Csikszentmihalyi, seorang pakar kreativitas yang telah 30 tahun meneliti kehidupan orang-orang kreatif, kesalahpahaman dalam menghadapi mereka sering timbul karena pada dasarnya individu yang kreatif memang memiliki kepribadian yang lebih kompleks dibanding orang lain. Jika kepribadian manusia biasa pada umumnya memiliki kecenderungan ke arah tertentu, maka kepribadian orang kreatif terdiri dari sifat-sifat berlawanan yang terus-menerus ‘bertarung’, tapi di sisi lain juga hidup berdampingan dalam satu tubuh. Apa saja sifat-sifat kontradiktif mereka?

Orang-orang kreatif memiliki tingkat energi yang tinggi, tapi mereka juga membutuhkan waktu lama untuk beristirahat. Mereka tahan berkonsentrasi dalam waktu yang lama tanpa merasa jenuh, lapar, atau gatal-gatal karena belum mandi. Tapi begitu sudah selesai, mereka juga bisa menghabiskan waktu berhari-hari untuk mengisi ulang tenaga mereka; Di mata orang luar, mereka jadi terlihat seperti orang termalas di dunia.

Orang-orang kreatif pada umumnya juga cerdas, tapi di sisi lain mereka tidak segan-segan untuk berpikir ala orang goblok dalam memandang persoalan. Ketimbang terpaku sejak awal pada satu macam penyelesaian (‘cara yang benar’), mereka memulai pemecahan masalah dengan berpikir divergen: Mengeluarkan sebanyak mungkin dan seberagam mungkin ide yang terpikir, tak peduli betapa bodoh kedengarannya.

Orang-orang kreatif adalah orang yang playful, tapi mereka juga penuh disiplin dan ketekunan. Tidak seperti dewasa lainnya yang melihat dunia dengan kacamata super-serius, orang-orang kreatif memandang bidang peminatan mereka seperti taman ria. Mereka melakukan pekerjaannya dengan begitu antusias sehingga terkesan seperti sedang bermain-main, padahal sebenarnya mereka juga bekerja keras mewujudkan ‘mainannya’.

Pikiran orang-orang kreatif selalu penuh imajinasi dan fantasi, tapi mereka juga tak lupa untuk tetap kembali ke realitas. Mereka mampu menelurkan ide-ide gila yang belum pernah tercetus oleh 6 milyar manusia lain, tapi yang membuat mereka bukan sekedar pemimpi di siang bolong adalah usaha mereka untuk menjembatani dunia khayalan mereka dengan kenyataan sehingga orang lain bisa ikut mengerti dan menikmatinya.

Orang-orang kreatif cenderung bersifat introvert dan ekstrovert. Pada kebanyakan orang lain, biasanya ada satu sifat yang cenderung lebih mendominasi perilakunya sehari-hari, tapi kedua sifat itu tampaknya muncul dalam porsi yang setara pada orang-orang kreatif. Mereka sangat menikmati baik pergaulan dengan orang lain (terutama dengan orang-orang kreatif lain yang sehobi) maupun kesendirian total ketika mengerjakan sesuatu.

Orang-orang kreatif biasanya rendah hati, namun juga bangga akan pencapaiannya. Mereka sadar bahwa ide-ide mereka tidak muncul begitu saja, melainkan hasil olahan inspirasi dan pengetahuan yang diperoleh dari lingkungan dan tokoh-tokoh kreatif yang menjadi panutan mereka. Mereka juga terfokus pada rencana masa depan atau pekerjaan saat ini sehingga prestasi di masa lalu tidak sebegitu berartinya bagi mereka.

Orang-orang kreatif adalah androgini; Mereka mendobrak batas-batas yang kaku dari stereotipe gender mereka. Laki-laki yang kreatif biasanya lebih sensitif dan kurang agresif dibanding laki-laki lain yang tidak begitu kreatif, sementara perempuan yang kreatif juga lebih dominan dan ‘keras’ dibanding perempuan pada umumnya.

Orang-orang kreatif adalah pemberontak, tapi pada saat yang sama mereka tetap menghargai tradisi lama. Tentu sulit menyematkan nilai kreativitas pada sebuah teori atau karya yang tidak mengandung sesuatu yang baru, tapi orang-orang kreatif tidak ingin membuat sesuatu yang sekedar berbeda dari yang sudah ada; Ada unsur ‘perbaikan’ atau ‘peningkatan’ yang harus dipenuhi, dan itu hanya bisa dilakukan setelah orang-orang kreatif cukup memahami aturan-aturan dasarnya untuk bisa menerabasnya.

Orang-orang kreatif sangat bersemangat mendalami pekerjaannya, tapi mereka juga bisa sangat obyektif menilai hasilnya. Tanpa hasrat yang menggebu-gebu, mereka mungkin sudah menyerah sebelum sempat mewujudkan ide kreatif mereka yang sulit dinyatakan, tapi mereka juga tidak dapat menghasilkan sesuatu yang benar-benar hebat tanpa kemampuan untuk mengkritik diri dan karya sendiri habis-habisan.

Orang-orang kreatif pada umumnya lebih terbuka terhadap hal-hal baru dan sensitif pada lingkungan. Sifat ini menyenangkan mereka (karena mendukung proses kreatif), tapi juga membuat mereka sering gelisah -bahkan menderita. Sesuatu yang tidak beres di sekitar mereka, kritik dan cemooh terhadap hasil karya, atau pencapaian yang tidak dihargai sebagaimana mestinya, hal-hal ini mengganggu orang kreatif lebih dari orang biasa.

Sumber:
The Creative Personality – Psychology Today

KESERAGAMAN DI AJANG LOMBA LUKIS ANAK

Perkembangan seni lukis anak sangatlah menggembirakan. Fenomena ini bisa kita lihat dengan banyaknya kegiatan lomba melukis dan les lukis yang makin menjamur. Kebanyakan diselenggarakan dengan menggandeng sponsor. Di sisi lain, orang tua yang ingin menyekolahkan anaknya, mulai mempertimbangkan adakah pilihan kegiatan ekstra lukis di sekolah tersebut. Kegiatan melukis sudah menjadi kegiatan yang mendapat tempat di hati orang tua. Anak yang sering memenangi lomba melukis pastilah membuat bangga orang tuanya.

Kecenderungan seperti tersebut di atas memang sangatlah menarik. Lomba lukis merupakan ajang rekreasi dan ekspresi. Banyaknya even lomba lukis berarti memberi kesempatan kepada anak-anak untuk bisa mengungkapkan ekspresi mereka dan sekaligus berekreasi. Tetapi jika kegiatan lomba-lomba itu tanpa didasari oleh pengetahuan tentang seni rupa justru akan membuat anak terpasung kretivitasnya.

Apa yang terlihat di banyak lomba lukis adalah keseragaman teknik maupun media yang dipakai. Sebelum lomba dimulai seakan sudah ditetapkan bahwa yang memenuhi standar ”layak menang” adalah yang memakai alat gambar merek tertentu. Di benak para peserta lomba juga terlihat terjadi ”kerancuan pola pikir dan motivasi” di mana mereka menganggap ”mereka harus memakai alat gambar merek itu supaya menang”. Di sisi lain anak-anak yang tidak menggunakan media tersebut, dengan alasan harganya yang mahal, sebelum bertanding mereka seakan sudah kalah duluan. Akibat yang terasa lebih tidak adil adalah yang memenangi lomba selalu anak ini atau anak itu. Sehingga ada julukan ”langganan menang lomba lukis”.

Bagaimana hal itu bisa terjadi? Sebuah ajang ekspresi mengapa justru memasung kreativitas anak-anak? Yang terjadi adalah adanya standarisasi dan keseragaman. Padahal di dunia seni, seni apapun juga, keseragaman adalah hal yang sangat dihindari. Kenapa? Karena kalua mau yang pasti-pasti sudah ada Ilmu Pasti (Matematika). Justru kelebihan seni adalah karena memberi banyak kemungkinan. Akibat lebih lanjut adalah kretivitas anak menjadi tumpul. Anak usia TK dan SD yang seharusnya dibebaskan dari segala batasan justru sudah mulai dibelenggu ide-idenya.

Dengan makin seringnya kegiatan lomba lukis anak maka pertanyaan mengenai ”bagaimana kita harus menilai lukisan anak yang unik dan penuh misteri itu” seharusnya menjadi pertanyaaan utama bagi para juri lomba lukis anak. Diluar teknik, media atau alat gambar yang dipakai.

Menilai sebuah lukisan anak sebaiknya dan seharusnya tidak dilihat dengan ”kacamata” orang dewasa. Mereka mempunyai dunia sendiri yang sungguh berbeda dengan dunia orang dewasa. Kita perlu menilai hasil karya lukisan anak berdasarkan situasi dan kondisi. Jika lukisan orang dewasa merupakan ekspresi penuh kesadaran dan tanggung jawab (dalam arti si pelukis harus bisa mempertanggungjawabkan hasil karyanya), maka lukisan anak dibuat berdasarkan intuisi, murni suara hati, tanpa berpikir dan sifatnya main-main. Goresan warnanya spontan dan bebas, sesuka hati. Warna yang mereka pakai sesuai suasana hatinya. Apa yang mereka tuangkan ke atas kertas adalah sesuai dengan pengalaman mereka, sesuai dengan kehidupan mereka yang masih ”polos”. Baik yang mereka alami (nyata) maupun berdasarkan khayalan (imajinasi). Bentuk-bentuk yang mereka goreskan kadang-kadang bersifat sangat pribadi, hanya memiliki arti bagi si anak. Wujudnya terlihat unik dan lucu. Dan disinilah sebenarnya ”kekuatan” dari lukisan anak.

Tiga hal yang perlu diperhatikan dalam menilai lukisan anak adalah: keberanian menggores, makna cerita dan kemurnian ekspresi anak selaku pelukis (Dewobroto, Majalah ARTISTA, Mei 2004). Terlepas dari alat gambar yang dipakai, produk merek apapun sah-sah saja, selama tiga hal ini memadai.

Keberanian Menggores
Keberanian dan kebebasan mengungkapkan ekspresi (baca: menggoreskan warna) perlu ditanamkan sehingga apa yang diinginkan anak secara tuntas dapat diungkapkan. Biarkan anak meluapkan perasaan mereka dengan sebebas-bebasnya. Bentuk obyek yang kurang pas menurut kacamata orang dewasa. Obyek yang tumpang tindih, atau obyek yang terbalik karena anak memutar kertas gambarnya karena emosi yang begitu meluap, maupun pemilihan warna mereka yang cerah, segar dan berkesan ceria adalah hal yang biasa.

Makna Cerita
Pada umumnya anak yang kaya pengalaman akan lebih ”komplit” dalam bercerita lewat lukisannya. Obyek dalam lukisannya seakan ”bercerita”, tidak pasif. Anak yang kebetulan sering bepergian bersama orang tuanya akan mempunyai banyak perbendaharaan visual. Sehingga obyek lukisannya menjadi lebih variatif. Ketika anak akan melukis tema kebun binatang misalnya, Ia akan melukis kebun binatang dengan bermacam hewan seperti gajah, monyet, harimau, singa, rusa, jerapah, zebra, buaya, kuda nil, dan ular. Kemudian berbagai macam kandang hewan, kolam ikan, dan pepohonan. Tidak ketinggalan pula aktivitas manusia seperti pawang hewan, penjual tiket, penjual es, penjual bakso, dan penjual mainan, akan dilukisnya.

Kemurnian Ekspresi.
Kebebasan emosi memberi peluang kepada anak untuk menjadi kreatif. Mereka akan memiliki jiwa yang berani, fantasinya berkembang dan terlatih kepekaannya. Mereka bekerja menggunakan konsep, ide atau pengalamannya sendiri, sehingga lukisannya benar-benar murni.

Semakin bertambah usia, semakin bertambah pula pengalaman dan tingkat penalarannya. Dengan banyaknya latihan mereka akan semakin terlatih dalam penguasaan media, bahan dan alat gambar. Anak akan sering menggunakan lebih dari satu macam media. Inilah alasan adanya pengelompokan umur peserta (kategori) dalam lomba lukis anak.

Tugas besar yang harus segera mulai dilakukan oleh Event Organiser penyelenggara lomba lukis dan para juri lomba lukis adalah meletakkan kembali (repositioning) ajang lomba lukis sebagai ajang kreativitas anak. Bukan sekedar ajang rekreasi saja. Penjurian dinilai dengan mata kepala dan mata hati: menerobos bidang lukisan sampai ke dalam pribadi anak. Berusaha menyelami dunia anak, memakai kacamata anak, bukan dengan kacamata orang dewasa. Dan, sekali lagi, terlepas dari media atau alat gambar yang digunakan. Dengan perubahan cara pandang kita terhadap lukisan anak diharapkan kita bisa menjembatani munculnya generasi Indonesia penuh kreasi di masa datang. (http://senirupakreatif.blogspot.com)

Rabu, 07 Juli 2010

Kepengurusan Sanggar Lir-ilir Solo (SALIRO)

Ketua : Sarimo DPD
Sekretaris : Eko Yulianto
Bendahara : Andi Sutrisno
Humas : Ari Yanto
Anggota : 1.Joko Santosa
2.Kusni
3.Nosal (Warno Saleh)
4.Indarto
5.Indra Wahyudi

ANGGARAN DASAR (AD) dan ANGGARAN RUMAH TANGGA (ART)

KOMUNITAS PERUPA SANGGAR LIR ILIR SOLO (SALIRO)

Mukadimah Membangun manusia Indonesia seutuhnya, memerlukan keseimbangan antara pembangunan fisik dan pembangunan nonfisik. Pendiri Republik ini juga sudah mengisyaratkan tentang perlunya Nation and Character Building. Demikian pula kata-kata bijak itu; bahwa dengan agama hidup menjadi berguna dan terarah, dengan ilmu hidup menjadi mudah, dengan seni hidup menjadi indah. Karena itulah kesenian sudah seharusnya disikapi dengan semestinya serta dipahami dengan sewajarnya, sebagaimana posisi agama dan ilmu.

Bahwasanya melestarikan, mengembangkan dan memelihara kesenian bukan semata-mata tugas pemerintah. Peranan masyarakat sudah selayaknya dilibatkan sejak tahap perancangan, tahap pelaksanaan hingga tahap penilaian. Pemerintah dan masyarakat perlu berjalan seiring dan saling melengkapi sehingga kesenian betul-betul dapat diperlakukan sebagaimana yang menjadi kebutuhan kalangan seniman, pekerja seni dan seluruh pihak yang terkait dengan kesenian, bahkan juga masyarakat penikmat kesenian. Oleh karenanya Pemerintah perlu didampingi oleh sebuah lembaga yang bertindak sebagai pemikir dan konseptor dalam pembinaan dan pengembangan kesenian, diluar institusi pemerintah sendiri.Dalam kerangka seperti itulah Sanggar Lir-ilir Solo didirikan.

Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Terdorong oleh rasa tanggung jawab yang luhur akan perkembangan seni budaya di Indonesia pada umunya dan di Solo khususnya,serta mewujudkan program pemerintah,yaitu mengembangkan seni budaya Indonesia dengan memupuk potensi yang ada dalam rangka membentuk manusia seutuhnya, maka dengan ini kami Sanggar Lir ilir Solo menyusun Anggaran Dasar sebagai berikut

ANGGARAN DASAR (AD)

BAB I

Nama,tempat dan waktu

Pasal 1 : Organisasi ini bernama Sanggar Lir Ilir Solo, yang disingkat SALIRO

Pasal 2 : SALIRO berkedudukan di Solo

Pasal 3 : Saliro didirikan pada tanggal 16 Mei 2010 untuk waktu yang tidak ditentukan

BAB II

Azas,Sifat dan Tujuan

Pasal 3 : SALIRO berasaskan Pancasila

Pasal 4 : Landasan Hukum SALIRO adalah Undang-Undang Dasar 1945

Pasal 5 : SALIRO bersifat independen

Pasal 6: SALIRO bertujuan membina kesadaran Masyarakat untuk bertanggung jawab dalam mengembangkan seni rupa di Solo

BAB III

Anggota dan Pengurus

Pasal 7 : Anggota adalah orang yang terdaftar di SALIRO

Pasal 8 : Anggota Sanggar SALIRO dikukuhkan dengan surat keputusan sanggar.

Struktur Organisasi

Pasal 9: Struktur Organisasi SALIRO terdiri dari:

  1. Ketua
  2. Sekretaris
  3. Bendahara
  4. Humas (Hubungan Masyarakat)
  5. Anggota

Kepengurusan

Pasal 10 : Masa Bakti pengurus SALIRO adalah dua tahun

Pasal 11 : Kepengurusan SALIRO sedikitnya terdiri dari:

  1. Seorang Ketua
  2. Seorang Sekretaris
  3. Seorang Bendahara
  4. Seorang Humas (Hubungan Masyarakat)

Kedaulatan Tertinggi Sanggar

Pasal 12 :Kedaulatan tertinggi Sanggar Lir-ilir Solo (SALIRO) berada pada Musyawarah Anggota Sanggar (MAS)

BAB IV

Lambang dan Atribut

Pasal 13 : Lambang SALIRO

Pasal 14 : Atribut SALIRO terdiri dari:

  1. Kartu Anggota dan nomor Anggota
  2. Stempel SALIRO
  3. Kertas amplop berkop SALIRO

BAB V

Fungsi dan Tugas

Pasal 15 : Usaha-usaha yang dilakukan Sanggar adalah :

  1. memelihara dan mempertinggi mental berkesenian Para Anggota Sanggar dan Masyarakat
  2. mengusahakan kesejahteraan anggota
  3. mengadakan usaha-usaha lain yang tidak bertentangan dengan AD/ART

BAB VI

Keuangan

Pasal 16 : Keuangan SALIRO diperoleh dari:

  1. Dana Pembinaan
  2. Sumbangan / Iuran para Anggota sanggar
  3. Donasi dan usaha-usaha lain yang sifatnya tidak mengikat

BAB VII

Perubahan dan Pembubaran

Pasal 17 : Perubahan Anggaran Dasar SALIRO dilakukan pada saat musyawarah Anggota Sanggar (MAS)

Hal-hal yang menyangkut pembubaran organisasi hanya dapat dilakukan dalam musyawarah anggota Sanggar (MAS)

BAB VIII

Lain-lain

Pasal 18 : Hal-hal lain yang belum diatur dalam Anggaran Dasar ini atau yang merupakan penjelasan Anggaran Dasar ini diatur dalam Anggaran Rumah Tangga

Ditetapkan di : Surakarta

Hari,tanggal : 27 Juni 2010

Pukul : 15.00 WIB

TIM PERUMUS

1. Ketua : Sarimo DPD

2. Sekretaris : Eko Yulianto

3. Anggota : Indarto

Andi Sutrisno

Indra Wahyudi

ANGGARAN RUMAH TANGGA

BAB I. UMUM

Pasal 1 (Nama) : Organisasi ini bernama Sanggar Lir Ilir Solo, yang disingkat SALIRO

Pasal 2 (Tempat) : 1. SALIRO berkedudukan di Solo

2. SALIRO dalam aktivitas di dalamnya memiliki satu sekretariat

Pasal 3 (Waktu) : Saliro didirikan pada tanggal 16 Mei 2010

Pasal 4 (Asas) : Pancasila adalah asas SALIRO. SALIRO dalam mengembangkan misinya harus sesuai dengan nilai-nilai luhur Pancasila

Pasal 5 (Tujuan) :

  1. membina kesadaran Masyarakat untuk bertanggungjawab dalam mengembangkan seni rupa Solo
  2. Mengabdi kepada Tuhan Yang Maha Esa,bangsa dan Negara
  3. Memupuk kreativitas dalam mengembangkan kecintaan terhadap seni budaya Indonesia
  4. Mewujudkan kreativitas Masyarakat yang mempunyai minat bakat dan seni
  5. Mendorong peningkatan dan perkembangan kehidupan kesenian (seni rupa) sejalan dengan kebutuhan masyarakat
  6. Mendorong dan meningkatkan mutu karya seni sejalan dengan meningkatnya apresiasi masyarakat terhadap kesenian
  7. Meningkatkan, mengembangkan dan menampung peran serta masyarakat di bidang pembangunan kesenian (seni rupa)
  8. Meningkatkan pembinaan dan pengembangan kesenian (seni rupa) sebagai upaya untuk meningkatkan kesejahteraan pelaku seni.

BAB II. KEANGGOTAAN

Pasal 6 ( Jenis Keanggotaan)

  1. Anggota Biasa adalah semua orang yang masih terdaftar di secretariat SALIRO
  2. Anggota Kehormatan adalah seseorang yang karena keaktifan, kecakapan, dan loyalitas diperlukan SALIRO (Sementara ini belum ada)

Pasal 7 (Hak Anggota)

  1. Anggota Biasa berhak:
  1. Menghadiri setiap bentuk munyawarah anggota dengan hak suara,bicara dan hak dipilih
  2. Dibela dam membela diri
  3. Mendapat jaminan kesejahteraan yang sama
  4. Mengikuti semua aktivitas sanggar
  5. Memasuki organisasi lain dengan tidak mengurangi nama baik Sanggar
  6. Menyumbangkan tenaga, pikiran dan financial demi kemajuan organisasi

  1. Anggota Kehormatan berhak:
  1. Menghadiri setiap musyawarah anggota dengan hak suara,hak bicara dan hak memilih
  2. Dibela dan membela diri
  3. Mendapat jaminan kesejahteraan yang sama
  4. Mengikuti semua aktivitas Sanggar
  5. Menyumbangkan tenaga, pikiran dan financial demi kemajuan organisasi

Pasal 8 (Kewajiban Anggota)

Kewajiban anggota adalah memahami dan mentaati AD dan ART serta ketentuan-ketentuan lain yang berlaku di SALIRO

Pasal 9 (Pemberhentian Anggota)

1. Keanggotaan Saliro Berhenti apabila :

  1. Meninggal Dunia
  2. Mengundurkan diri sebagai anggota
  3. Diberhentikan oleh SALIRO

2. Permintaan pengunduran diri yang dimaksud pasal 9 ayat 1 butir (b) dilakukan secara tertulis ditunjukan kepada ketua SALIRO

3. Anggota diberhentikan apabila

  1. Melanggar Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga
  2. Melalaikan kewajibannya sebagai anggota Sanggar
  3. Merugikan Sanggar
  4. Pertimbangan administrative lain yang memungkinkan

BAB III. PELANGGARAN DAN REHABILITASI

Pasal 10 (Sanksi)

  1. Setiap pelanggaran yang dilakukan anggota diberikan sanksi berjenjang
  2. Sanksi berjenjang yang dimaksud pasal 10 ayat (1) berupa teguran lisan, teguran tertulis, pemecatan sementara dan pemecatan
  3. Jenjang sanksi tidak berlaku untuk hal-hal yang dianggap luar biasa

Pasal 11 (Pembelaan)

Hak membela diri dan dibela terhadap sanksi pelanggaran hanya dapat dilakukan pada musyawarah yang dilakukan untuk itu

Pasal 12 (Rehabilitasi)

  1. Anggota yang diberhentikan berdasar pasal 9 ayat 3 Anggaran Rumah Tangga ini dapat mengajukan permohonan kembali menjadi anggota setelah memperbaiki kesalahannya
  2. Penerimaan kembali anggota yang dimaksud dalam ayat 1 pasal ini harus disetujui dalam musyawarah yang dilakukan untuk itu

BAB IV. KEPENGURUSAN

Pasal 13 (Masa Kepengurusan)

Masa Bakti Kepengurusan adalah dua tahun

Pasal 14 (Mandat kegiatan)

Jika dipandang perlu pelaksanaan kegiatan dapat dilakukan oleh oleh panitia yang dibentuk oleh penerima mandate.

BAB V. LAMBANG DAN ATRIBUT

Pasal 15( Lambang)

Lambang SALIRO berupa bentuk stilasi huruf S yang dibuat menyerupai nyala api sebagai symbol semangat belajar dan berkarya, kemudian dibawanya terdapat bentuk lengkung bergelombang yang bermakna ada pergerakan, sedangkan jumlah gelombangnya 5 buah sebagai symbol asas Pancasila. Sedangkan kata SALIRO dibawahnya semakin mempertegas bahwa logo di atas adalah milik SALIRO

Pasal 16( Atribut )

  1. Kartu anggota dan nomor anggota yang diberikan setelah seseorang anggota dikukuhkan
  2. Stempel SALIRO berbentuk Lambang SALIRO
  3. Kertas dan amplop berkop SALIRO bertuliskan Komunitas Perupa Sanggar Lir-Ilir Solo, beserta alamat dengan memuat lambang SALIRO di sebelah kiri

BAB VI. USAHA

Pasal 17 (Pembinaan Mental Berkeseniaan)

Untuk memelihara dan mempertinggi mental spiritual anggota dilakukan usaha:

  1. Memberikan pendidikan dan pengembangan pengetahuan tentang seni
  2. Mengadakan diskusi atau ceramah atau Kegiatan lain sejenis yang berhubungan dengan seni.

Pasal 18 (Pengembangan pengetahuan)

Untuk meningkatkan pengetahuan bagi anggota dilakukan usaha

  1. Pameran-pameran di dalam ataupun di luar kota
  2. Pengiriman anggota ke sanggar atau studio seni
  3. Studio Komparatif / studi banding dan Studi Kelayakan

BAB VII. INVENTARISASI

Pasal 19 (Perlengkapan)

  1. Semua peralatan dan perlengkapan yang dimiliki adalah milik Sanggar
  2. Semua peralatan dan perlengkapan yang diusahakan, merupakan milik Sanggar
  3. Perlengkapan yang diperoleh dari bantuan pemerintah atau bantuan pihak swasta,menjadi milik dan tanggung jawab Sanggar
  4. Distribusi semua peralatan dan perlengkapan dilakukan oleh pengurus.

Pasal 20 ( Laporan)

  1. Semua kegiatan yang bersangkutan dengan SALIRO harus melaporkan secara tetulis kepada Pengurus SALIRO
  2. Setiap anggota yang menjadi utusan organisasi atau melakukan kegiatan atas nama organisasi, harus melaporkan secara tertulis kepada Pengurus SALIRO.
  3. Semua bentuk dan jenis laporan merupakan inventaris Sanggar

BAB VIII. KEUANGAN

Pasal 21 : Sumber Keuangan :

1. Sumber Keuangan Sanggar diperoleh dari :

a. Sumbangan anggota dan donasi
b. Hasil usaha organisasi
c. Sumber lain yang sah dan tidak mengikat.
2. Segala bentuk administrasi dan pembukuan keuangan dilakukan oleh Bendahara atas persetujuan dan sepengetahuan Ketua Umum
3. Pada akhir tahun buku, bendahara membuat laporan penerimaan dan pengeluaran yang dipertanggungjawabkan dalam Musyawarah Anggota Sanggar

Pasal 22 (Distribusi Keuangan)

1. Alokasi Penggunaan Dana :

  1. Penggunaan untuk operasional dan kegiatan secara rutin
  2. Penggunaan untuk kegiatan secara insidental;
  3. Penngunaan dan pengambilan dana dari Bendahara disetujui Ketua Umum

2. Keperluan dan organisasi dibiayai oleh kas organisasi

3. Pembagian keuangan organisasi berdasarkan pertimbangan besar kecilnya aktivitas kegiatan

Pasal 23 (Laporan keuangan)

Penggunaan sumber dana yang lain dilaporkan setelah kegiatan berakhir kepada ketua Sanggar

BAB IX. PERUBAHAN AD dan ART

Pasal 24(Perubahan)

  1. Untuk merubah AD dan ART diperlukan keputusan Musyawarah Anggota Sanggar (MAS)
  2. Usulan perubahan AD dan ART diterima oleh musyawarah anggota dengan suara terbanyak sedikitnya 2/3 seluruh anggota Sanggar
  3. Usulan perubahan musyawarah musyawarah anggota yang diadakan khusus untuk itu adalah jika disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 jumlah anggota yang hadir

Pasal 25
1. Perubahan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga adalah wewenang MAS yang diadakan secara khusus untuk itu;
2. Rapat yang dimaksud dalam ayat 1 (satu ) pasal ini dianggap sah jika dihadiri sekurang-kurangnya oleh separuh tambah 1 (satu) dari jumlah undangan;
3. Perubahan harus disetujui sekurang-kurangnya oleh separuh tambah 1 (satu) dari peserta yang hadir;
4. Apabila keputusan rapat tidak mencapai quorum sesuai ayat 3 (tiga) pasal ini, maka dapat dilaksanakan rapat kedua paling cepat 7 (tujuh) hari, paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah rapat pertama dan tidak lagi diperlukan pemenuhan quorum.

BAB X
PEMBUBARAN ORGANISASI

Pasal 26
1. Pembubaran organisasi diputuskan melalui Musyawarah Anggota Sanggar (MAS) Luar Biasa (MASLB);
2. Musyawarah Anggota Sanggar (MAS) Luar Biasa (MASLB) yang dimaksud dalam ayat 1 (satu ) pasal ini dianggap sah jika dihadiri sekurang-kurangnya oleh separuh tambah 1 (satu) dari jumlah undangan;
3. Pembubaran harus disetujui sekurang-kurangnya oleh separuh tambah 1 (satu) dari peserta musyawarah yang hadir;
4. Apabila keputusan rapat tidak mencapai quorum sesuai ayat 3 (tiga) pasal ini, maka dapat dilaksanakan rapat kedua paling cepat 7 (tujuh) hari, paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah rapat pertama dan tidak lagi diperlukan pemenuhan quorum.

Pasal 27 (Penyelesaian)

Jika pasal 27 ART ini terlaksana, maka cara penyelesaian semua harta milik Sanggar ditetapkan oleh musyawarah anggota yang diadakan khusus untuk itu.

BAB XI

PENUTUP

Pasal 28 (Penutup)

Anggaran Rumah Tangga Ini merupakan penjabaran Anggaran Dasar dan berlaku sejak ditetapkan.

Ditetapkan di : Surakarta

Hari,tanggal : 27 Juni 2010

Pukul : 15.00 WIB

TIM PERUMUS

1. Ketua : Sarimo DPD

2. Sekretaris : Eko Yulianto

3. Anggota : Indarto

Andi Sutrisno

Indra Wahyudi